Editor | Kolom Tetap | June 30th, 2009
Oleh: Agung Praptapa*
Pada
tulisan sebelumnya sudah digarisbawahi bahwa untuk menjadi pede kita harus mampu melihat diri sendiri apa adanya, harus bijak
memosisikan diri sendiri maupun orang lain, dan mampu menerjemahkan lingkungan
sewajarnya. Kemampuan kita melihat diri sendiri secara manusiawi akan
menempatkan diri kita maupun orang lain serta lingkungan ke dalam porsi yang
benar. Hal tersebut akan melandasi kita supaya bisa pededengan wajar, tanpa dibuat-buat. Namun, pede secara umum (in general
situation) tidak menjamin akan pede
pula saat harus berbicara di depan umum (public
speaking). Mengapa demikian? Karena adanya unsur gangguan fisik dan
gangguan mental dalam berbicara di depan umum.
Keadaan tidak pede saat berbicara didepan umum akan mengundang gangguan fisik
maupun gangguan mental. Gangguan fisik dapat berupa tiba-tiba merasa gatal,
gemetar, jantung berdebar keras, berkeringat yang tidak wajar, tangan dingin,
suara parau bahkan tidak keluar, tenggorokan kering, kaki rasanya lemas, perut
mulas, dan selalu ingin buang air kecil. Gangguan fisik ini kalau tidak
berhasil kita atasi akan semakin membuat kita down, semakin tidak pede.
Gangguan fisik harus kita atasi secara
fisik pula. Caranya adalah dengan mengambil napas dalam-dalam dan
menghembuskannya pelan-pelan. Ini tidak harus dilakukan di ruang tempat kita
berbicara, tetapi bisa dilakukan di luar gedung. Selanjutnya adalah kita harus
mencoba tersenyum saat menarik napas maupun menghembuskan napas, sembari
mengendurkan syaraf yang tegang. Saat kita tersenyum, syaraf akan terpancing untuk
mengendur. Lakukan beberapa kali sampai kita merasa relaks.
Teknik lain untuk mengatasi gangguan
fisik adalah dengan cara memberikan kejutan pada tubuh kita. Ini bisa kita
lakukan dengan melompat yang tinggi kalau perlu sambil berteriak keras, saling
menggenggam erat antara tangan kanan dan tangan kiri, atau membuat gerakan
ekstrim yang membuat seolah badan kita tersengat. Malu dong melakukan gerakan kejutan di depan umum? Jangan khawatir. Ini
ada triknya. Kita justru bisa mengajak peserta (audience) untuk melakukan bersama sama kita. Pernahkah Anda
menjumpai pembicara yang mengajak peserta berjingkrak-jingkrak bersama sambil
berteriak? Nah, ini adalah salah satu cara supaya kita memiliki kesempatan
untuk menciptakan kejutan bagi fisik kita. Dengan cara ini peserta maupun
pembicara menjadi lebih relaks.
Gangguan lain yang akan muncul saat
kita tidak pede untuk berbicara di
depan umum adalah gangguan mental. Gangguan mental muncul dalam bentuk perasaan
khawatir secara berlebihan, grogi, minder, merasa akan diterkam oleh peserta,
merasa disepelekan, merasa kecil, merasa bodoh, merasa kurang siap, dan
perasaan-perasaan negatif lainnya. Gangguan mental ini juga harus kita atasi
dengan menggunakan pendekatan mental pula.
Salah satu teknik yang bisa kita
gunakan untuk mengatasi gangguan mental adalah dengan membuat keputusan kepada
diri sendiri untuk tidak khawatir, tidak grogi, tidak minder, dan sebagainya.
Perintahkan diri sendiri untuk tidak khawatir. Katakan dalam hati dengan lembut
pada diri sendiri bahwa kita tidak perlu khawatir karena situasi akan membaik
dan memihak pada kita. “Don’t worry, you
will be fine.” Katakan berulang-ulang. Hipnosis diri
sendiri. Kondisikan hati kita akan menerima saran baik dari kita sendiri.
Lakukan lagi sampai kita merasa lebih baik.
Gangguan mental dapat pula kita atasi
dengan cara melakukan reposisi pada diri sendiri maupun orang lain. Caranya
adalah dengan memberikan posisi yang serba positif kepada peserta. Posisikan
peserta sebagai pemaaf, orang yang menyenangkan, penuh pengertian, dan akan
memberikan perhatian pada acara ini. Cara ini akan efektif karena saat kita
grogi misalnya, karena ada peserta yang lebih tinggi pangkatnya atau lebih
hebat gelarnya, adalah posisi yang kita pilih untuk diri sendiri. Saat itu kita
memosisikan sebagai lebih rendah maka mereka menjadi tampak lebih tinggi.
Di sini perlu kearifan untuk
menempatkan segala sesuatu pada porsi yang semestinya. Apa sih salahnya kalau ada peserta yang memiliki gelar lebih hebat dari
pada pembicara? Apa pula salah pembicara kalau pangkatnya lebih rendah dari
pada peserta? Posisikan diri sendiri maupun orang lain pada porsi yang wajar,
maka kita akan mampu mengatasi gangguan mental.
Teknik lain untuk mengatasi gangguan
mental adalah dengan cara yang disebut unfreezing,
atau mencairkan kebekuan. Ini bisa kita lakukan dengan cara melakukan
komunikasi awal dengan peserta. Kita bisa menanyakan sesuatu yang ringan-ringan
saja yang untuk menjawab mereka tidak perlu berpikir keras. Misalnya kita
menanyakan, “Siapa yang hadir di sini yang ingin kaya?” Mintalah mereka mengangkat tangan
apabila ingin kaya. Pertanyaan seperti ini tentunya memiliki jawaban pasti
karena semua orang ingin kaya. Tetapi, dengan kita tanyakan kepada peserta kita
memiliki kesempatan untuk berinteraksi. Interaksi ini akan mencairkan suasana
sehingga gangguan mental bisa kita atasi. Tentu saja pertanyaan yang kita
ajukan harus ada hubungannya dengan topik yang akan kita sampaikan. Kalau kita
sedang berbicara tentang kesehatan kita bisa menanyakan “Siapa di antara yang hadir di sini
yang ingin sehat?”
Haruskah unfreezing dilakukan dengan bertanya? Tidak. Kita bisa juga
melakukan unfreezing dengan menyapa
peserta yang kita kenal, memuji baju yang dikenakan salah satu atau beberapa
peserta, menyampaikan kata-kata bijak yang sesuai topik, dan kemudian
menanyakan kepada peserta setuju atau tidak dengan kata-kata bijak tersebut.
Atau cara-cara lain, yang penting kita bisa membuka interaksi dengan peserta
agar kebekuan bisa cair.
Unfreezing bisa juga dilakukan dengan bertanya
kepada peserta suatu pertanyaan yang sudah kita atur jawabannya. Misalnya,
apabila ditanya apa kabar, mereka harus menjawab “luar biasa”, “fantastik”, “super”, dan jawaban lain yang membangkitkan
semangat.
Ada pula yang mengatasi gangguan
mental dengan cara humor, yaitu dengan memberikan sentuhan jenaka bagi peserta
yang membuat kita grogi. Cara ini bukan berarti kita harus melucu, tetapi kita
membayangkan mereka dalam posisi lucu sehingga kita bisa tertawa dalam hati.
Misalnya, peserta yang matanya besar kita bayangkan bahwa matanya lebih besar
lagi, lebih bulat, seperti mata Bagong, tokoh pewayangan yang selalu melucu.
Peserta yang berjenggot kita bayangkan seperti seekor kambing, dan seterusnya.
Ini memang butuh kreativitas.
Membayangkan wajah jelek dan lucu tidaklah mudah. Dalam training public speaking, untuk mendapatkan
gambaran tentang wajah jelek dan lucu saya sering minta kepada peserta untuk
berekspresi yang sejelek mungkin dan kemudian selucu mungkin. Peserta lain
mengamati sehingga peserta memiliki inventory
bayangan wajah jelek dan lucu. Inventory
ini akan berguna dikemudian hari saat mereka harus mendapatkan sisi lucu dari
peserta. Tertarik untuk mencoba? Silakan. Asyik juga cara ini.[ap](bersambung)
* Agung Praptapa adalah seorang dosen,
pengelola Program Pascasarjana Manajemen di Universitas Jenderal Soedirman, dan
juga Direktur AP Consulting, yang memberikan jasa konsultasi bisnis dan
training di bidang personal and
organizational development. Alumni UNDIP, dan kemudian melanjutkan studi
pascasarjana ke Amerika dan Australia, di University of Central Arkansas dan
University of Wollongong. Mengikuti training dan mempresentasikan karyanya di
berbagai universitas di dalam negeri maupun di luar negeri termasuk di Ohio
State University, Kent State University, Harvard University, dan University of
London. Kolumnis tetap di andaluarbiasa.com. Tulisan ini untuk mendukung
training “Empowering
Your Confidence in Public Speaking”. Website: www.praptapa.com,
pos-el: praptapa[at]yahoo[dot]com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar