Rabu, 21 November 2012

Di Mata Ibu

Secara langsung atau pun tidak teramat sering saya mendengar orang berkata, "Ah sudahlah, berdoalah untuk diri sendiri, biar besok atau lusa tak perlu mengemis lagi". Tentu saja kalimat itu dialamatkan kepada para pengemis yang kerap mendoakan para dermawan yang memberinya receh. Yang mengagumkan, para pengemis tua itu tak pernah menggubris omongan orang-orang itu dan tetap pada kewajibannya, mendoakan orang yang telah mendermanya agar senantiasa bertambah rezekinya dan diberikan kesehatan.

Setiap kali saya mendapati kejadian itu, atau bahkan setiap kali saya melihat pengemis renta, saya selalu teringat ibu. Ibu teramat akrab dengan pengemis, karena ia senang menjadi sahabat pengemis. Dulu, saya dan anak ibu yang lain sering tidak mengerti mengapa ibu melakukan hal ini. Setiap pengemis tua renta atau cacat -dua puluh tahun lalu hanya pengemis seperti ini yang ada- yang datang ke rumah, ibu tak pernah membiarkan ia berada di balik pagar rumah. Tak sekadar kata "maaf" pengganti uang receh yang terhulur, bahkan ibu mempersilakannya masuk dan menawarinya makan atau minum.

Ibu tahu, mereka telah menempuh perjalanan panjang nan melelahkan. Ribuan kilo mereka susuri, ribuan kata terekam di telinga mereka, ribuan pintu yang sengaja tertutup untuk mereka, meski hanya sekeping dua keping yang terbawa ke rumah menjelang senja. Ibuku bukan orang berada, seringkali ibu juga tak punya uang untuk memberi. Tapi itu bukan alasan bagi ibu untuk tak menghormati mereka. Ibu tetaplah ibu, ia senantiasa mempersilahkan para pengemis itu untuk mampir dan
mencicipi yang ada, meski sekadar air putih.

Saya sering menduga, ibu sering mendapati keadaan tak punya uang sedikit pun saat para pengemis itu datang. Tapi ibu juga tak ingin semua pengemis mengenal wajah kami sebagai wajah-wajah bukan penderma, ibu tak pernah rela jika pengemis menandai rumah kami adalah rumah yang dihuni orang-orang kikir. Ibu ingin mereka tahu bahwa pintu kami selalu terbuka untuk mereka, meski ibu sendiri sering tak tahu harus memberi apa kepada mereka. Maka jadilah, kadang
saya mendapati hanya air putih yang mereka dapat. Tapi sungguh, senyum ikhlas dan doa dari mereka itu yang membuat ibu merasa puas.

Anak-anak ibu berjumlah lima, karena itu ibu sering memasak dalam jumlah banyak. Tapi ternyata ibu selalu memasak lebih dari yang kami butuhkan. "Untuk tamu-tamu istimewa kita," terang ibu. Dan di mata ibu, para pengemis yang sering datang itu lah para tamu istimewa, mereka seperti raja yang selalu punya singgasana di rumah kami. Sekali lagi, meski hanya air putih yang dapat kami persembahkan, kami memberinya dengan penuh hormat dan hati menunduk.

Hingga kini, puluhan tahun sudah keluarga kami melakukan itu. Ibu senantiasa mengingatkan agar anak-anak ibu juga melakukan hal yang sama, tak peduli sesulit apa pun keadaan kita. "Kamu mau kan kalau di akhirat kelak mereka menjadi saksi bahwa kita telah mengikuti satu ajaran Rasulullah?"

Allah itu, lanjut ibu, sering berdekatan dengan para fakir miskin. Jika demikian, kepada merekalah kita mesti mendekat, karena itu berarti kita juga tengah berupaya mendekati Allah. Ah, saya yang berpendidikan lebih tinggi dari ibu ternyata sering tidak mampu menangkap makna terdalam dari sebuah keluhuran. Memberi dan membantu orang lain, hakikatnya adalah menolong diri sendiri. Sungguh, saya telah membuktikan kata-kata ibu.

Bayu Gautama
Shadaqah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api. (HR. Tirmidzi)

Tidak ada komentar: