Secara langsung atau pun tidak teramat sering saya mendengar
orang berkata, "Ah sudahlah, berdoalah untuk diri sendiri, biar besok atau
lusa tak perlu mengemis lagi". Tentu saja kalimat itu dialamatkan kepada
para pengemis yang kerap mendoakan para dermawan yang memberinya receh. Yang
mengagumkan, para pengemis tua itu tak pernah menggubris omongan orang-orang
itu dan tetap pada kewajibannya, mendoakan orang yang telah mendermanya agar
senantiasa bertambah rezekinya dan diberikan kesehatan.
Setiap kali saya mendapati kejadian itu, atau bahkan setiap
kali saya melihat pengemis renta, saya selalu teringat ibu. Ibu teramat akrab
dengan pengemis, karena ia senang menjadi sahabat pengemis. Dulu, saya dan anak
ibu yang lain sering tidak mengerti mengapa ibu melakukan hal ini. Setiap
pengemis tua renta atau cacat -dua puluh tahun lalu hanya pengemis seperti ini
yang ada- yang datang ke rumah, ibu tak pernah membiarkan ia berada di balik
pagar rumah. Tak sekadar kata "maaf" pengganti uang receh yang
terhulur, bahkan ibu mempersilakannya masuk dan menawarinya makan atau minum.
Ibu tahu, mereka telah menempuh perjalanan panjang nan
melelahkan. Ribuan kilo mereka susuri, ribuan kata terekam di telinga mereka,
ribuan pintu yang sengaja tertutup untuk mereka, meski hanya sekeping dua
keping yang terbawa ke rumah menjelang senja. Ibuku bukan orang berada,
seringkali ibu juga tak punya uang untuk memberi. Tapi itu bukan alasan bagi
ibu untuk tak menghormati mereka. Ibu tetaplah ibu, ia senantiasa mempersilahkan
para pengemis itu untuk mampir dan
mencicipi yang ada, meski sekadar air putih.
Saya sering menduga, ibu sering mendapati keadaan tak punya
uang sedikit pun saat para pengemis itu datang. Tapi ibu juga tak ingin semua
pengemis mengenal wajah kami sebagai wajah-wajah bukan penderma, ibu tak pernah
rela jika pengemis menandai rumah kami adalah rumah yang dihuni orang-orang
kikir. Ibu ingin mereka tahu bahwa pintu kami selalu terbuka untuk mereka,
meski ibu sendiri sering tak tahu harus memberi apa kepada mereka. Maka
jadilah, kadang
saya mendapati hanya air putih yang mereka dapat. Tapi
sungguh, senyum ikhlas dan doa dari mereka itu yang membuat ibu merasa puas.
Anak-anak ibu berjumlah lima, karena itu ibu sering memasak
dalam jumlah banyak. Tapi ternyata ibu selalu memasak lebih dari yang kami
butuhkan. "Untuk tamu-tamu istimewa kita," terang ibu. Dan di mata
ibu, para pengemis yang sering datang itu lah para tamu istimewa, mereka
seperti raja yang selalu punya singgasana di rumah kami. Sekali lagi, meski
hanya air putih yang dapat kami persembahkan, kami memberinya dengan penuh
hormat dan hati menunduk.
Hingga kini, puluhan tahun sudah keluarga kami melakukan
itu. Ibu senantiasa mengingatkan agar anak-anak ibu juga melakukan hal yang
sama, tak peduli sesulit apa pun keadaan kita. "Kamu mau kan kalau di
akhirat kelak mereka menjadi saksi bahwa kita telah mengikuti satu ajaran
Rasulullah?"
Allah itu, lanjut ibu, sering berdekatan dengan para fakir
miskin. Jika demikian, kepada merekalah kita mesti mendekat, karena itu berarti
kita juga tengah berupaya mendekati Allah. Ah, saya yang berpendidikan lebih
tinggi dari ibu ternyata sering tidak mampu menangkap makna terdalam dari
sebuah keluhuran. Memberi dan membantu orang lain, hakikatnya adalah menolong
diri sendiri. Sungguh, saya telah membuktikan kata-kata ibu.
Bayu Gautama
Shadaqah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air
memadamkan api. (HR. Tirmidzi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar